Rabu, 05 Agustus 2009

Sengketa Waiat dan Hibah

Makalah

SENGKETA WASIAT DAN HIBAH

Disampaikan :

R. JAYA RAHMAT, S.Ag., M.Hum.

Pada :

SEMINAR PTA BANTEN

Tentang

PENGALIHAN HAK ATAS HARTA

A). PENGERTIAN

Dalam kehidupan sahari-hari kata wasiat dan hibah sudah akrab ditelinga kita karena ia sering digunakan baik dalam budaya bangsa maupun dalam hukum.Wasiat atau hibah termasuk bidang hukum muamalat ataun perdata. Baik wasiat maupun hibah merupakan bagian hukum kebendaan yang menyangkut perpindahan hak milik kebendaan dari pemilik kepada orang lain. Dalam perundang-undangan, kita masih mengenal plurastik dalam hukum perdata, yakni hukum perdata barat, hukum Islam dan hukum adat. Para anggota legislative belum mampu menghasilkan satu undang-undang tentang hukum perdata yang berlaku untuk semua warga Negara. Dalam ketuga macam hukum tersebut masing-masing mengenal dan mengatur tentang wasiat dan hibah. Dalam forum ini tentu kita bicara tentang wasiat dan hibah menurut ketentuan hukum Islam.

Dalam penjelasan pasal 49 ayat (c) undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, dirumuskan wasiat adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.

Ayat ( c ) dari pasal tersebut merumuskan tentang hibah sebagai berikut; adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.

B). KEWENANGAN ABSOLUT PENGADILAN AGAMA

Perlu diketahui bahwa dalam pasal 49 ayat ( 1b ) undang-undang no. 7 tahun 1989 menyebutkan bahwa yang menjadi kewenangan pengadialn agama adalah masalah kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Maksud pasal ini adalah untuk mengakomodir bila ada warga Negara muslim yang ingin menyelesaikan masalah kewarisannya dengan menggunakan salah satu dari dua bentuk hukum lainnya, dimana hal itu masih dibolehkan berdasar butir 2 alenia keenam dari penjelasan umum undang-undang no. 7 tahun 1989 (pilihan hukum).

Kendati yang dimaksud adanya pilihan hukum itu hanya untuk hukum waris, namun dalam sengketa wasiat atau hibah masih ada pihak tergugat yang mengajukan eksepsi bahwa wasiat atau hibah yang disengketakan telah dilakukan tidak berdasar hukum Islam.

Apa ciri bahwa perbuatan wasiat atau hibah dilakukan berdasar atau tidak berdasarkan hukum Islam ? Mereka menunjuk pasal 875 KUHPer yang menyebut bahwa surat wasiat atau testament adalah sebuah akta notariel, jadi setiap wasiat yang dibuat tertulis dengan menggunakan akta notaris dianggap sebagai bukan berdasar hukum Islam.

Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 195 ayat ( 1 ) nenyebut bahwa wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua ornagn saksi, atau dihadapan notaries. Dengan demikian hukum Islam juga membenarkan bila dilakukan dengan akta notaries.

Alhamdulillah dengan keluarnya undang-undang no. 3 tahun 2006 semua kendala tersebut telah sirna. Bagi warga Negara yang Islam tidak ada lagi yang namanya pilihan hukum atau opsi dalam bidang yang telah menjadi kompetensi absolute pengadilan agama.

C). KEABSAHAN WASIAT DAN HIBAH

Dalam hukum Islam untuk menentukan kebsahan dari suatu perbuatan hukum adalah tergantung terpenuhinya rukun dan syarat suatu peristiwa hukum itu. Rukun adalah sesuatu yang membentuk hakikat dan ada didalamnya seperti berdiri,ruku’, sujud, lain dengan wudlu yang merupakan syarat salat adalah sesuatu yang berada diluar salat, tetapi mempengaruhi sah dan tidaknya salat ( Prof.Drs.H.A.Djazuli, hal 52 ). Sepertin peristiwa akad nikah yang salah satu rukunnya adanya calon suami, maka tanpa dia mustahil adanya akad nikah. Berbeda dengan syarat usia 19 tahun bagi laki-laki yang ingin menikah. Tidak mungkin akad nikah berlangsung jika sang calon belum berusia 19 tahun, namun bila ada laki-laki yang berusia 19 tahun belum tentu ada akad nikah.

Kompilasi Hukum Islam tidak menyebut secara tegas tentang rukun dan syarat melakukan wasiat dan hibah, namun beberapa hal telah diatur yang akan di uraikan.

D). DASAR HUKUM WASIAT

Dalam hukum Islam, sumber hukuk yang mengatur tentang wasiat yaitu surat 2 albaqarah ayat 180 yang artinya :

Diwajibkan atas kamu, ap[abila seorang diantara kamu kledatangan (tanda-tanda)maut, jioka ia menoinggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan klarib lerabatnya secara ma’ruf(ini adalah) kewajiban atas porang-orang yang bertakwa.

Menurut jumhur fukaha ayat wasiat ini telah dinasakh dengan turunnya ayat \- ayat waris yang terdapat dalam surat annisa’ ayat 7, 11 dan12. Rasulullah saw dalam khutabahnya pada haji wada’ antara lain berkata; sesungguhnya Allah swt telah memberikan kepada masing-masing apa yang menjadi haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris (H.;R.Turmuzi dan Abu Daud).Sejak saat itu hukum wasiat hanya sunnah dan tiidak boleh untuk ahli waris.

Sedangkan menurut pasal 195 ayayt 3 Kompilasi Hukum Islam, wasiat kepada ahli waris masih memungkimkan dengan syarat mendapat persetujuan dari ahli waris.

E). RUKUN DAN SYARAT WASIAT

1. Pewasiat (mushi), harus telah mem,iliki syarat yakni telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, akil, sehat serta tanpa adanya paksaan ( pasal 194 ayat 1 KHI )

2. Penerima wasiat (musha lahu), Kompilasi tidak membuat perincian syarat penerima wasiat, hal ini dapat kita katakana bahwa bagi penerima wasiat tidak ada persyaratan kecuali ia bukan ahli waris dari pewasiat kecuali dengan persetujuan semua ahli waris (pasal 195 ayat 3 ), bukan perawat selama sakit dan bukan pula pembimbing rohani pewasiat selama sakit kecuali disebut dengan jelas sebagai imbalan jasanya.

3. Harta yang diwasiatkan (musha bihi), syarat pokok adalah barang yang diwasiatkan adalah milik sempurna dari pewasiat (pasal 194 ayat 2 KHI), barang tersebut halal untuk dimiliki, dapat diserakan pada saat pewasiat meninggal dunia, bila yang diwasiatkan manfaat dari sesuatu benda maka harus diberikan jangka waktu tertentu (pasal 198 KHI).

Harta yang boleh diwasiatkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan, kecuali semua ahli waris menyetujui. (pasal 195 ayat 2 )

4. Sighat (ucapan),pasal 195 ayat (1) KHI membolehkan wasiat dengan lisan atau tulisan yang masing-masing dihadiri oleh dua saksi atau dapat dilakukan secara notariel.

Kompilasi Hukum Islam membolehkan wasiat tertutup yang maksud adanya wasiat hanhya diketahui oleh orang-orang tertentu saja.Jika wasiat tertutup maka penyimpanannya ditempat notaries yang membuat. Wasiat tertutup, baru dibuka apabila pewasiat meninggal dunia dengan dihadiri oleh semua ahli waris dan dua orang saksi (pasal 204 ayat 1). Bila yang menyimpan bukan notaries,maka ia harus menyerahkannya pada notaries atau Kepala Kanor Urusan Agama setempat selanjutnya untuk dibuka (ayat 2)

F). HIBAH

Masalah hibah atau pemberian secara mutlak ini tidak banyak persoalan yang rumit. Yang perlu diingat antara lain sebagai berikut :

1. Hibah orangtua kepada anak bila dipermasalahkan oleh ahli waris lain dapat diperhitungkan sebagai warisan (pasal 210)

2. Hibah dapat dilakukan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta benda kepada orang lain atau badan hukum.

3. Hibah tidak dapat ditarik kembali kecuali hibah orang tua kepada anaknya.

G). SENGKETA

Manusia untuk dapat melangsungkan hidupnya didunia ini dibekali dengan beberapa perlatan rohani diantaranya akal dan napsu atau keinginan. Selain itu manusia termasuk makhluk sosial artinya ia tidak mampu hidup sendirian tapi bergantung dengan bantuan orang lain.

Adanya napsu atau keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup disamping untuk keperluan tersebut manusia sangat butuh kepada bantuan pihak lainnya, sementara pihak lain tersebut memiliki karakter yang tidak berbeda maka kemungkinan adanya benturan kepentingan pada dua orang itulah yang mengandung potensi sengketa.

A. Mukti Arto dalam bukunya Mencari Keadilan menguraikan sebagai berikut ; jadi suatu sengketa itu muncul karena adanya suatu masalah yang berbenturan dengan orang lain yang disertai rasa emosional. Rasa emosional inilah yang kemudian menimbulkan sikap bersengketa dan mendorong yang bersangkutan untuk ingin menyelesaikan masalahnya.

Apabila masalah/sengketa sosial itu berada dalam ruang lingkup tatanan hukum, maka ia menjadi masalah/sengketa hukum. Kemudian apabila masalah/sengketa itu dibawa kepengadilan untuk diselesaikan secara litigasi, maka ia menjadi perkara di pengadilan.

Selanjutnya pada halaman 37 diuraikan bahwa sengketa itu selalu ada 3 aspek tinjauan yaitu ;

1. Aspek yuridis menyangkut perbedaan antara das sein dan das sollen atau antara kenyataan yang terjadi dengan norma yang seharusnya terjadi.

2. Aspek sosiologis yakni adanya suatu fakta yang membuat suatu pihak merasa dirugikan oleh pihak lawan yang membuat/melakukan/fakta/kejadian itu.

3. Aspek psikologis yakni pada hakikatnya sengketa itu terjadi antara sesama manusia dalam kepasitas apapun. Rasa emosional manusia inilah yang memunculkan adanya sengketa


Daftar Pustaka

Tim Direktorat Pembinaan Badan Peradialan Agama, Analisa Hukum Islam Bidang wasiat, Departemen Agama.

Tim Direktorat Pembinaan Badan Peradialan Agama, Analisa Hukum Islam Bidang Hibah, Departemen Agama.

Prof.Drs.H.A. Djazuli, U s h u l F i q h.

Drs.H.Mukti Arto SH. M.Hum., Mencari Keadilan.

Tidak ada komentar: