Rabu, 05 Agustus 2009

Penerapan Pola Bindalmin

PROBLEMATIKA PENERAPAN POLA BINDALMIN

PERADILAN AGAMA


Disampaikan Oleh :

R. JAYA RAHMAT, S.Ag, M.Hum.


Dalam Acara Sosialisasi Pola Bindalmin


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sistem Administrasi Keperkaraan pada Pengadilan di lingkungan Mahkamah Agung khususnya Peradilan Agama saat ini masih mengacu kepada Pola Pembinaan dan Pengendalian Administrasi Perkara (Bindalmin) yang diterapkan oleh Mahkamah Agung RI yang acuannya dibuat sejak tahun 1991 dengan dikeluarkannya KMA No. KMA/00l/SK/l99l tanggal 24 januari 1991 dan Surat Mahkamah Agung Nomor :43/TUADA-AG/III-UM/XI/l992.[2]

Kemudian setelah keluarnya keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/007/SK/IV/1994 tangal 1 April 1994 yeng berisi perintah memberlakukan buku I- II di semua pengadilan dari lingkungan peradilan se- Indonesia, memerintahkan semua pimpinan Pengadilan, Hakim dan Pejabat Kepaniteraan melaksanakan ini dan ketentuan Buku I- II secara seragam, disiplin dan bertanggung jawab serta pimpinan pengadilan dari semua lingkungan pengadilan ditugaskan untuk mengawasi pelaksanaan buku I-II dan melaporkan secara periodik kepada atasannya dan Mahkamah Agung dimana Ketua Pengadilan mendelegasikan pengawasannya kepada Hakim Pengawas Bidang, maka keberadaan buku I-II sebagai pengejawantahan Pola Bindalmin sangat dirasakan.[3]

Sejak awal diterapkannya Pola Bindalmin pada Lembaga Peradilan dalam rangka tertib adminstrasi perkara merupakan satu langkah tepat untuk memberikan kepastian para pihak yang berperkara di pengadilan selain untuk kepastian proses yang harus ditempuh oleh sebuah perkara yang masuk ke Pengadilan.

Ada beberapa prinsip mendasar yang terkandung dalam Buku I-II, diantaranya adalah Kewenangan Mahkamah Agung melakukan Pembinaan dan Pengawasan, kepastian hukum yang harus dilaksanakan seragam pada seluruh jajaran peradilan, adanya transparansi, karena pedomannya dapat diketahui oleh seluruh jajaran peradilan maupun publik serta adanya prinsip akuntabilitas dengan adanya pertangungjawaban terhadap publik atas kinerja / penyelenggaraan administrasi pengadilan didalam penggunaan uang titipan pihak ketiga, dimana semua pengeluaran uang yang merupakan hak-hak kepaniteraan dan dipertanggungjawabkan oleh Panitera sebagai Bendaharawan Pihak Ketiga.

Selama ini Pola Bindalmin merupakan satu-satunya acuan yang dipakai oleh pengadilan untuk mengadministrasi perkara yang masuk mulai dari perkara itu didaftarkan sampai dengan selesai, sehingga setelah sekian lama berjalan dirasakan banyak sekali permasalahan yang muncul terutama untuk mencapai tujuan lembaga peradilan yang diamanatkan oleh Undang-Undang yaitu memeriksa perkara dengan prinsip sederhana, cepat dan biaya ringan (pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004), yaitu tidak diperlukan lagi pemeriksaan dan acara yang berbelit-belit yang dapat menyebabkan proses sampai bertahun-tahun sehingga dapat terpikul oleh rakyat serta tanpa mengorbankan ketelitian untuk mencari kebenaran dan keadilan.[4]

B. Rumusan masalah

Permasalahan-permasalahan yang selama ini biasanya muncul dan dirasakan menjadi penghambat dalam proses pelaksanaan Pola Bindalmin yang idealnya menjadikan proses perkara pada pengadilan menjadi lebih cepat dapat dirumuskan sebagai berikut :

Pertama, adanya para Pejabat Kepaniteraan dan petugas yang ditunjuk menjalankan tugas tanpa pengetahuan dasar yang memadai dan pejabat diangkat hanya karena pangkat atau masa kerja tanpa mendapatkan pendidikan khusus tertentu

Kedua, adanya para hakim yang tidak dibekali dengan pengetahuan tentang Pola Bindalmin (Buku I-II) yang akibatnya tidak dapat menjalankan fungsi pengawasan bidang dengan baik sesuai ketentuan

Ketiga, adanya Panitera yang tidak memahami fungsi dan tugasnya yaitu selain sebagai bendaharawan fihak ketiga juga tugasnya sebagai Administrator yang memimpin kepaniteraan dan kesekretariatan

Keempat, adanya para pejabat Kepaniteraan pada umumnya tidak menguasai bidang tugasnya dan banyak tidak mengetahui dan membaca buku I yang memuat apa yang harus dilakukan pejabat pengadilan (what to do) dan juga memuat pembagian tugas (job description), selain Buku II yang mengatur tentang caranya pejabat pengadilan harus melakukan tugasnya (how to do it) mengenai hukum acara formal pengadilan (formeel procesrecht). [5]

Kelima, kurangnya koordinasi antara para Panitera Muda dimana Wakil Panitera sebagai koordinator dan pembina para Panitera Muda belum berfungsi maksimal

Keenam, adanya laporan-laporan yang tidak akurat dan data-data yang tidak sesuai dengan kenyataan tanpa diteliti dan dikoreksi, serta adanya laporan tunggakan minutasi sampai puluhan perkara yang dibiarkan saja.

Ketujuh, permasalahan ini terjadi pada proses baku yang ada pada Pola Bindalmin yaitu pada saat setelah perkara diterima, maka berkas disampaikan melalui Wakil Panitera kepada Panitera dan dilanjutkan kepada Ketua Pengadilan untuk dibuatkan PMH (Penetapan Majelis Hakim) yang kemudian dikembalikan kepada Panitera untuk dapat ditunjuk Panitera Pengganti dan selanjutnya diteruskan ke Majelis Hakim dan proses ini dirasakan memakan waktu dan tidak efisien.

Kedelapan, dalam penulisan pada Buku Register yang banyak sekali dan harus ditulis dalam beberapa buku serta masih sulitnya untuk menyeragamkan tulisannya

Kesembilan, pembuatan Berita Acara Persidangan oleh Panitera Pengganti yang semestinya selesai setelah persidangan, atau paling tidak sebelum sidang selanjutnya Berita Acara Persidangan sudah diselesaikan

Kesepuluh, penentuan biaya panjar perkara yang tidak sama atau bahkan selalu berubah-ubah

Kesebelas, berkas perkara yang mesti diarsipkan sehingga memakan tenaga dan tempat, dimana rata-rata ruang arsip pada pengadilan sangat terbatas terutama pada pengadilan yang memiliki perkara yang banyak.

Keduabelas, adanya program SIADPA yang pada awalnya merupakan sarana penunjang terlaksananya proses pada Pola Bindalmin ternyata sebaliknya SIADPA dijadiikan sarana untuk proses yang cepat tetapi tidak sesuai dengan Pola Bidalmin yang selama ini diterapkan.


ANALISIS MASALAH

Pada masalah pertama yaitu adanya para Pejabat Kepaniteraan dan petugas yang ditunjuk menjalankan tugas tanpa pengetahuan dasar yang memadai dan pejabat diangkat hanya karena pangkat atau masa kerja tanpa mendapatkan pendidikan khusus tertentu

Hal ini terlihat dari penerimaan perkara, semestinya pada meja I yang merupakan tempat penerimaan perkara baik Perkara Permohonan, Gugatan, Permohonan Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali maupun Pemohonan Eksekusi dan tempat penentuan besarnya panjar biaya perkara dengan berpedoman kepada penetapan atau SK Ketua Pengadilan yang kemudian dituangkan kedalam SKUM, dengan tidak boleh memberi tanggal serta tidak boleh menandatangani SKUM, yang kemudian setelah dibayarkan ke kasir yang akan menerima dan membukukan panjar biaya perkara yang tercantum dalam SKUM pada buku jurnal keuangan perkara yang bersangkutan dimana pencatatan panjar perkara harus sama dengan nomor halaman buku jurnal yang kemudian akan dijadikan nomor perkara yang oleh kasir dicatat dalam SKUM dan lembar surat gugatan / permohonan dengan menggunakan cap/stempel khusus.[6]

Setelah panjar perkara dibayarkan pada pemegang kas (kasir), pada meja dua perkara didaftarkan dengan mencatat perkara yang masuk kedalam Buku Register Induk Perkara sesuai dengan nomor perkara yang tercantum pada SKUM / Surat Gugatan/ Permohonan dimana nomor perkara dalam register harus sama dengan nomor perkara dalam buku jurnal, dengan memberikan nomor urut dimulai dengan satu pada setiap bulannya, sehingga pada setiap bulannya regiser ditutup oleh petugas register dengan membuat rekapitulasi sisa bulan lalu, perkara masuk, putus dan sisa bulan yang lalu. Setiap akhir tahun register ditutup oleh Panitera dan diketahui oleh Ketua Pengadilan dengan membuat rekapitulasi sisa tahun lalu, perkara masuk, putus dan sisa tahun yang lalu.

Pengisian kolom-kolom buku register dilakukan dengan tertib berdasarkan jalannya penyelesaian perkara dimulai dari perkara didaftarkan, Penunjukan Majelis Hakim serta Penetapan Hari Sidang Pertama, yang selanjutnya diisi berdasarkan laporan dari Panitera Pengganti tentang tanggal penundaan sidang, alasan penundaan sidang, tanggal putusan dengan memakai instrument atau formulir yang telah ditentukan. Selain itu pemegang buku induk juga harus mencatat dengan cermat tanggal penyelesaian minutasi dan semua kegiatan penyelesaian perkara yang berkaitan dengan upaya hukum Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali dan Eksekusi.

Kemudian, setelah perkara diputus, tugas Meja III untuk menyiapkan / menyediakan salinan putusan pengadilan atas permintaan para pihak. Selain itu pada Meja III juga berkewajiban untuk menerima/memberikan tanda terima atas Memori Banding, Kontra Memori Banding, Memori Kasasi, Kontra Memori Kasasi maupun Jawaban dan Alasan Peninjauan Kembali.

Pada meja III juga dibuatkan laporan baik Laporan Bulanan yang berisi Laporan Keadaan Perkara, Laporan Keuangan Perkara dan Laporan Jenis Perkara, juga dibuatkan Laporan Kwartalan yang berisi Laporan Perkara Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali serta Eksekusi, maupun Laporan Semesteran yang berisi Laporan tentang Kegiatan Hakim yang dibuat sesuai dengan aturan Pola Bindalmin.

Kesemuanya ini harus dapat dikuasai oleh para pejabat Kepaniteraan yang dalam prakteknya dibantu oleh masing – masing Staf Administrasi.

Jika sistem ini belum difahami terlebih tidak ada pelatihan khusus mengenai jabatan yang diembannya maka dapat berakibat adanya penyimpangan- penyimpangan yang tidak sesuai dengan Pola Bindalmin.

Kemudian pada permasalahan kedua yaitu adanya para hakim yang tidak dibekali dengan pengetahuan tetang Pola Bindalmin(buku I-II) yang akibatnya tidak dapat menjalankan fungsi pengawasan bidang dengan baik sesuai ketentuan,

Hakim Pengawas adalah hakim yang ditugaskan oleh Ketua Pengadilan untuk melakukan pembinaan dan pengawasaan bidang hukum tertentu yang ditugaskan kepadanya. Idealnya Hakim Pengawas adalah hakim yang memang betul-betul memahami sistem peradilan yang dilakukan dengan Pola Bindalmin, sehingga kesalahan-kesalahan yang dilakukan dalam proses berjalannya perkara di pengadilan baik yang terkait dengan Administrasi Keperkaraan, umum maupun pada bidang kesekretariatan dapat diminimalisasikan dengan adanya pembinaaan yang dilakukan dan pengawasan yang selalu dievaluasi sehingga dalam setiap priodiknya akan terlihat kemajuan dari laporan yang diberikannya.

Pada permasalahan ketiga yaitu adanya Panitera yang tidak memahami fungsi dan tugasnya yaitu selain sebagai Bendaharawan Perkara Pihak Ketiga juga tugasnya sebagai administrator yang memimpin Kepaaniteraan dan Kesekretariatan

Panitera selain nemiliki fungsi sebagai Administrator yang memimpin kePaniteraan dan kesekretariatan juga memiliki peran ganda yaitu sebagai Bendaharawan Perkara Pihak Ketiga yang merupakan bendaharawan yang bertanggung jawab terhadap keberadaan uang pihak-pihak yang berperkara.

Idealnya seorang Panitera adalah orang yang telah tiga tahun menjabat wakil Panitera, dan atau lima tahun sebagai Panitera Muda (pasal 27 UU Nomor 3/ Tahun 2006), sehingga mampu mengasai dan memimpin kepaniteraaan, juga sekaligus mengetahui jumlah uang dan kegunaan baik dari biaya panjar perkara, tambahan panjar perkara biaya sita dan lainnya yang dititipkan pihak ketiga, karena kewenangan dan tanggung jawabnya sebagai pejabat yang mengurus biaya perkara (SEMA no. 07/1986), sehingga pertanggungjawaban keuangan tersebut sesuai dengan Pola Bindalmin yang harus diterapkan di pengadilan.

Pada permasalahan keempat, yaitu adanya pejabat Kepaniteraan pada umumnya tidak menguasai bidang tugasnya dan banyak tidak mengetahui dan membaca buku I yang memuat apa yang harus dilakukan pejabat pengadilan (what to do) dan juga memuat pembagian tugas (job description)

Sudah selayaknya setiap orang mengetahui setiap tugas yang diwenangkan kepadanya, jika setiap orang mengetahui apa yang harus dilakukan pejabat pengadilan dan juga pembagian tugasnya tentu akan ada keseimbangan pekerjaan yang sesuai dengan beban tugasnya masing-masing sebagaimana yang tertulis dalam buku I untuk setiap pejabat

Permasalahan kelima, yaitu kurangnya koordinasi antara para Panitera Muda dimana Wakil Panitera sebagai koordinator para Panitera Muda belum berfungsi maksimal

Fungsi pimpinan sebagai leader menentukan jalannya koordinasi pekerjaan pada level bawahan, seorang Wakil Panitera sebagi pembantu Panitera yang langsung melakukan Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan tugas-tugas admistrasi perkara sangat menentukan jalanya proses perkara di Adminstrasi Keperkaraan, sehingga koordinasi antara meja satu, meja dua dan meja tiga tetap berjalan yang dalam prosesnya diperlukan Panitera Muda yang dapat mengejahwantahkan keinginan Wakil Panitera sebagai penanggung jawab pada bagian Administrasi Keperkaraan.

Pada masalah keenam yaitu, adanya laporan-laporan yang tidak akurat (asal jadi) dan data-data yang tidak sesuai dengan kenyataan tanpa diteliti dan dikoreksi serta adanya laporan tunggakan minutasi sampai puluhan perkara yang dibiarkan saja.

Permasalahannya adalah laporan laporan yang diberikan merupakan gambaran atau wajah pengadilan sebenarnya, sehingga jika terdapat laporan yang tidak akurat dan data yang diberikan tidak sesuai berakibat kepada tindak lanjut perkara yang ada pada pengadilan tersebut. Terlebih dengan adannya proses terlambatnya meminutasi perkara yang berakibat kepada terlambatnya proses penyelesian perkara itu disamping akan berimbas langsung kepada para pihak yang bersangkutan.

Pada permasalahan ketujuh yaitu pada saat setelah perkara diterima, maka berkas disampaikan melalui Wakil Panitera kepada Panitera dan dilanjutkan kepada Ketua Pengadilan untuk dibuatkan PMH (Penetapan Majelis Hakim) yang kemudian dikembalikan kepada Panitera untuk dapat ditunjuk Panitera Pengganti dan selanjutnya diteruskan ke Majelis Hakim dan proses ini dirasakan memakan waktu dan tenaga.

Proses ini merupakan proses yang seharusnya dalam system Pola Bindalmin, namun, pada pengadilan tertentu yang perkara tersebut sangat banyak, dirasa memakan waktu, sehingga perlu adanya penyederhanaan dan pengkondisian pada Pola Bindalmin itu sendiri yang disesuaikan dengan kondisi data ini

Pada permasalahan kedelapan yaitu dalam penulisan pada Buku Register yang banyak sekali dan harus ditulis dalam beberapa buku serta masih sulitnya untuk menseragamkan tulisannya

Ini menjadi permasalahan tersendiri, selain atuan ini memenag mempunyai tujuan tertentu, namun dirasakan kurang memberi pelayanan yang maksimal, terlebih jika dikaitkan dengan harusnya pengadilan memberikan pelayanan yang cepat, sederhana dan dengan biaya ringan

Pada masalah kesembilan yaitu pembuatan berita acara persidangan oleh Panitera Pengganti yang semestinya selesai setelah persidangan selesai, atau paling tidak sebelum digelar sidang selanjutnya berita acara persidangan sudah diselesaikan

Ada beberapa kendala yang dihadapi oleh Panitera Pengganti, sehingga pembuatan berita acara persidangan oleh Panitera Pengganti yang semestinya selesai setelah persidangan, atau paling tidak sebelum sidang selanjutnya belum berjalan secara maksimal, disamping itu banyak Panitera Pengganti yang tidak dapat meneyelesiakan berita acara pemeriksaan sesuai dengan ketentuan, karena keterbatasan sarana yang mendukung, terlebih pada pengadilan yang kekurangan sarana dan ketidaktersediaannya dana pengadaan yang sesuai dengan kebutuhan rill pada pengadilan ynag bersangkutan.

Pada masalah kesepuluh yaitu penentuan biaya panjar yang tidak sama atau bahkan selalu berubah-ubah

Pada kondisi ini akan timbul kerancuan dari para pihak mengenai keuangan perkara yang harus dibayarkan oleh pihak yang berperkara ke pengadilan. Ketetapan menegenai panjar yang harus dibayar yang didasarkan kepada perkiraan proses berjalannya perkara hingga selesai yang ditetapkan oleh ketua pengadilan. Selain itu Keputusan Ketua Pengadilan tersebut juga harus dapat diakses publik dengan menempatkan pada tempat terbuka dengan tuliasn / huruf yang jelas dan mudah dibaca.

Pada masalah kesebelas yaitu berkas perkara yang mesti diarsipkan sehingga memakan tenaga dan tempat dimana rata-rata ruang arsip pada pengadilan sangat terbatas terutama pada pengadilan yang memiliki perkara yang banyak

Permasalahan ini juga terkait dengan sarana tempat penyimpanan arsip perkara yang merupakan Dokumen Negara yang mesti dijaga keberadaannya, sehingga perlu adanya sarana yang baik umtuk menyimpan arsip perkara terlebih yang telah lama yang dimungkinkan berkas tersebut akan dibuka kembali, atau jika memungkinkan adanya sarana yang menunjang penyimpanan yang tidak memakan tempat sehingga memudahkan untuk mengarsipkannya.

Terakhir adalah masalah keduabelas yaitu program SIADPA yang pada awalnya merupakan sarana penunjang terlaksananya proses pada Pola Bindalmin ternyata sebaliknya SIADPA dijadiikan sarana untuk proses yang cepat tetapi tidak sesuai dengan Pola Bidalmin yang selama ini diterapkan.

SIADPA merupakan program terobosan yang diberikan Dirjen Badan Peradilan Agama MARI, yang merupakan sarana penunjang keberadaan Pola Bindalmin sehingga pelaksanaannya lebih cepat efisien dan tanpa memerlukan banyak tenaga, namun keberadaanya saat ini seakan-akan menjadikan SIADPA sebagai system yang menjalankan adminstrasi keperkaraan sehingga ada kemingkinan system ini tidak sesuai dengan Pola Bindalmin yang selama ini dipakai.

Sekalipun memang memberi banyak kemudahan dalam proses menjalankan Pola Bindalmin, namun dalam pelaksanaannya harus disesuaikan dengan Pola Bindalmin yang telah ditetapkan, sehingga tidak terjadi proses yang cacat hukum

.


SOLUSI SEMENTARA

Dari pemasalahan-permasalahan diatas, dapat diambil beberapa pemecahan yaitu:

Pertama, diperlukan adanya para pejabat yang berpengalaman dalam bidang jabatan tertentu, sehingga proses Pola Bindalmin yang telah ditentukan Mahkamah Agung dapat berjalan dengan baik dengan Sumber Daya Manusia yang memahami benar tentang Pola Bindalmin tersebut.

Kedua, diperlukan adanya pelatihan – pelatihan teknis dan pendalaman tentang Pola Bindalmin, sehingga tidak akan mengaburkan dari sistem Pola Bindalmin yang berakibat adanya penyimpangan-penyimpangan di dalamnya.

Ketiga, diperlukan sarana yang dapat mendukung poses Pola Bindalmin, sehingga tidak ada sesuatu yang dapat menghambat jalannya proses perkara yang bermuara kepada adanya Sistem Adminstrasi Perkara yang baik yang sesuai dengan Pola Bindalmin.

Keempat, dirasakan perlu adanya pembaharuan dan evaluasi terhadap Pola Bindalmin sendiri, yang lebih aspiratif dengan tuntutan jaman.

Terakhir, SIADPA yang merupanan sarana pendorong agar memudahkan dalam berjalannya Pola Bindalmin, didorong dan dikembangkan sehingga menjadi sebuah sistem yang menudukung pelaksanaan Pola Bindalmin yang lebih cepat dan memudahkan dalam proses kerja di pengadilan khususnya pada pengadilan agama.


PENDAPAT / REKOMENDASI

1. Pola Bindalmin yang selama ini dilaksanakan telah cukup membantu transparansi terhadap proses perkara di pengadilan.

2. Perlu adanya pelatihan yang mendalam terhadap Pola Bindalmin yang selama ini dilaksankan baik terhadap Pola Prosedur Penyelenggaraan Administrasi Perkara, Pola tentang Register Perkara, Pola tentang Keuangan Perkara, Pola tentang Laporan Perkara maupun Pola tentang Kearsipan Perkara.

3. SIADPA yang selama ini direkomendasikan oleh Direktorat Jenderal Peradilan Agama dapat dijalankan sebagai sarana penunjang pelaksanaan Pola Bindalmin, dengan cara diadakan pelatihan kepada seluruh pegawai sehinggga para pegawai memeiliki kemampuan untuk melaksanakan SIADPA yang sesuai dengan Pola Bindalmin yang selama ini diterapkan.

4. Untuk tidak terjadi penyimpangan dan kesalahan yang tidak sesuai dengan pelaksanaan pola bindalmin, perlu diadakan evaluasi rutin sehingga penyimpangan-penyimpangan dapat lebih diminimalkan.


DAFTAR PUSTAKA

Drs. M. Fauzan, SH, MM, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradian Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, Prenada Media, hal. 2, Tahun 2005.

Hj. RA. Amalia Santoso, SH, Undang-Undang Peradilan Agama (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Cetakan Pertama, Juni 2006

Mahkamah Agung RI, Sekitar KePaniteraan (Organisasi, Managemen dan Tugas Panitera/Jurusita), 2007

Pengadilan Tinggi Agama JawaTimur, Kumpulan Pedoman Pelaksanaan Tugas Administrsi Pengadilan Buku I – II, Surabaya, 1994.

Suparno, SH , Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan (Pola Bindalmin) , Makalah, DIklat Cakim II, Anyar, 2007

Proyek Peningkatan Pendayagunaan Aparatur Depertemen Agama RI Sekretariat Jenderal Biro Organisasi, Nama dan Uraian Jabatan Pada Peradilan Agama, 1995/1996.



[1] Panitera/Sekretaris Pengadilan Agama Tangerang Kls.I.B.

[2] Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama MARI, Pedoman Aplikasi Sistem Administrasi Perkara

Peradilan Agama Pola Bindalmin, hal 1, 2006)

[3] SuparnoSH, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan (Pola Bindalmin) ,

Makalah, Diklat Cakim, Anyer. 2007

[4] Moegiharjo, Sekitar Kepaniteraan (organisasi, Managemen dan Tugas Panitera / Jurusita,

Mahkamah Agung RI, 2007

[5] Prawoto S. Gandasubrata, SH, Kumpulan Pedoman Pelaksanaan Tugas Administrasi Pengadilan

Buku I-II (sebuah Pengantar), Pengadilan Tinggi Jawa Timur, Surabaya, 1994

[6] Suparno,SH, Op.Cit

Tidak ada komentar: