Rabu, 05 Agustus 2009

Sistem Hukum Kewarisan Islam

Makalah

SISTIM HUKUM KEWARISAN ISLAM

Disampaikan :

R. JAYA RAHMAT, S.Ag., M.Hum.

Pada :

WORK SHOP

PTA BANTEN & PA SE-WILAYAH PTA BANTEN

I. PENGERTIAN

1. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing.

2. Pewaris adalah orang yang meninggal beragama Islam, meninggalkan ahli Ahli waris dan harta peninggalan.

3. Ahli waris adalah orang pada saat pewaris meninggal mempunyai hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tida terhalang karena hukum menjadi ahlki waris.

4. Harta waris (tirkah) adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan; pengobatan hingga meninggalnya, pengurusan janazah (tajhiz),pembayaran hutang serta pelaksanaan wasiat

II. ASAS-ASAS HUKUM WARIS

1. Ijbari adalah daya paksa maksudnya peralihan harta atau hak dari pewaris kepada ahli waris dengan sendirinya tanpa kehendak dari pewaris. Daya paksa ini terlihat pada telah adanya pengaturan tentang siapa yang menjadi ahli waris dan berpa besar bagiannya tanpa melihat pada keinginan pewaris.

2. Bilateral dengan pengertian seseorang mendapatkan hak warisnya dari kedua pihak laki-laki maupun perempuan, seperti ayah ibu, anak laki-laki dan perempuan.

3. Individual yakni harta waris dibagi secara perorangan, bila telah dilaksanakan ahli waris bebas menggunakan. Bagi ahli waris yang belum dewasa hartanya dipelihara oleh orang tua atau walinya

4. Keadilan berimbang dimana bagian laki-laki dua kali bagian perempuan dengan perimbangan kewajiban nafkah menjadi tanggungan laki-laki.(lihat an-Nisa’ iv : 34)

5. Kematian, maksudnya hukum waris baru terbuka apabila pewaris meninggal dunia atau dinyatakan meninggal melalui putusan pengadilan.

III. HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN

1. Harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

2. Harta bawaan masing-masing, dan yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan, dibawah penguasaan masing-masing selama tidak ditentukan lain (pasal 35 uu no. 1 thn 1974 jo pasal 87 KHI)

IV. KEWAJIBAN AHLI WARIS

1. Mengurus dan menyelesaikan pemakaman janazah

2. Menyelesaikan semua hutang piutang almarhum, tanggung jawab ahli waris dalam membayar hutang hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta yang ditinggalkan.

3. Melaksanakan wasiat almarhum

4. Membagi harta waris ndiantara ahli waris yang berhak.

(pasal 175 KHI)

V. KELOMPOK AHLI WARIS

1. Hubungan darah (nasab)

Laki-laki terdiri dari ayah, anak , saudara, paman dan kakek.

Perempuan terdiri dari ibu, anak, saudara dan nenek.

2. Hubungan perkawinan (mushaharah)

Janda atau duda

(pasal 174 KHI)

VI. TERHALANG MEWARISI

1. Beda agama dengan pewaris

2. Membunuh atau percobaan membunuh pewaris

3. Memfitnah pewaris dengan ancaman hukuman 5 tahun atau lebih

(pasal 171 ayat c jo 173 KHI)

VII. BESARNYA BAGIAN

1. Ashabu alfurudl (bagian yang ditentukan)

a. bapak d. isteri

b. ibu e. anak perempuan

c. suami f. saudara

2. Ashabah yakni ahli waris yang mendapat sisa dari bagian ashabu alfurudl

VIII. RINCIAN

1. Bapak mendapat 1/6 bila pewaris meninggalkan anak dan bila tidak ada anak, bapak mendapat ashabah

2. Ibu mendapat 1/3 bila pewaris tidak meninggalkan anak atau dua saudara, dan 1/6 bila ada anak atau dua saudara.

3. Kakek da nenek selagi pewaris meninggalkan bapak atau ibu maka keduanya tidak menjadi ahli waris, bila pewaris tidak meninggalkan bapak atau ibu maka masing-masng mendapat 1/6 bagian

4. Suami mendapat ½ bila pewaris tidak meninggalkan anak dan ¼ bagian bila ada anak

5. Isteri mendapat ¼ bila pewaris tidak meninggalkan anak dan 1/8 bagian bila ada anak

6. Anak perempuan mendapat ½ bila satu orang dan 2/3 bila terdiri dua orang atau lebih, dan ikut menjadi ashabah bila bersama anak laki-laki dengan perbandingan bagian 2:1.

7. Cucu perempuan selagi pewaris meninggalkan anak maka ia tidak menjadi ahli waris tapi bila tidak ada anak maka cucu perempuan haknya sama dengan anak perempuan

8. Saudara baru menjadi ahli waris bila pewaris tidak meninggalkan anak. Saudara perempuan bila tunggal mendapat ½ bagian dan 2/3 bila dua orang atau lebih. Bila bergabung dengan saudara laki-laki maka mereka menerima sisa dengan perbanding 2:1

IX. WARIS PENGGANTI

Seorang anak yang meninggal lebih dahulu dari orangtuanya, bila orang tua meninggal maka anaknya (cucu pewaris) dapat menggantikannya. Adapu haknya tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

X. WASIAT WAJIBAH

Bagi anak angkat yang tidak menerima wasiat dari orang tua angkatnya dapat diberikan wasiat wajibah paling banyak 1/3 harta warisan.

XI. AYAT-AYAT WARIS

Ada beberapa ayat alqur’an yang berbicara tentang harta waris yakni surat an-Nisa’ ayat 7,8,11,12,13,14,33,176 dan al-Anfal 75, namun yang menyebut langsung pembagian hanya dalam 3 ayat yaitu an-Nisa’ 11,12, dan 176

AYAT-AYAT 7 – 14 SURAT AN-NISA

لِّلرِّجَالِ نَصيِبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاء نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا ‌[4-7

Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya,baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan

وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُوْلُواْ الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُم مِّنْهُ وَقُولُواْ لَهُمْ قَوْلاً مَّعْرُوفًا ‌[4-8]

Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu sekedarnya dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُواْ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُواْ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللّهَ وَلْيَقُولُواْ قَوْلاً سَدِيدًا ‌[4-9]

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebabbitu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا ‌[4-10]

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk kedalam api yang menyala-nyala.

يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَاء فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِن كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأُمِّهِ السُّدُسُ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَآؤُكُمْ وَأَبناؤُكُمْ لاَ تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعاً فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيما حَكِيمًا ‌[4-11]

Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu yaitu bagian seoarng anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua maka bagi mereka dua pertiga dsari harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu seorang saja maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu bapak bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak, jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja) maka ibu mendapat sepertiga. Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara maka ibunya mendapat seperenam.(Pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.(Tentang orang tuamua dan anak-anakmu kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana

۞ وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِن كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلاَلَةً أَو امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ فَإِن كَانُوَاْ أَكْثَرَ مِن ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاء H.A الثُّلُثِ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَآ أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَآرٍّ وَصِيَّةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ ‌[4-12]

Dan bagimu (suami-suami) sepaerdua dari harta yang ditinggal oleh isteri-isterimu jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak.Jika kamu mempunyai anak,maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan sesudah dibayar hutangmu. Jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak menginggalkan bapak dan tidak meninggalkan anak,tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki(seibu saja) atau seoarang saudara perempuan (seibu saja),maka bagi masing-masing dari k3edua jenis saudara itu seperenam harta. Tepai jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang,maka mereka bergabung dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat(kepada ahli waris).Allah menetapakn yang demikian itu sebagai syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun

تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ وَمَن يُطِعِ اللّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ‌[4-13]

(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai,sedang mereka kekal didalamnya, dan itulah kemenangan yang besar.

وَمَن يَعْصِ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ ‌[4-14]

Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuanNya niscaya Allah memasukkannya kedalam api neraka sedang ia kekal didalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.

Sengketa Waiat dan Hibah

Makalah

SENGKETA WASIAT DAN HIBAH

Disampaikan :

R. JAYA RAHMAT, S.Ag., M.Hum.

Pada :

SEMINAR PTA BANTEN

Tentang

PENGALIHAN HAK ATAS HARTA

A). PENGERTIAN

Dalam kehidupan sahari-hari kata wasiat dan hibah sudah akrab ditelinga kita karena ia sering digunakan baik dalam budaya bangsa maupun dalam hukum.Wasiat atau hibah termasuk bidang hukum muamalat ataun perdata. Baik wasiat maupun hibah merupakan bagian hukum kebendaan yang menyangkut perpindahan hak milik kebendaan dari pemilik kepada orang lain. Dalam perundang-undangan, kita masih mengenal plurastik dalam hukum perdata, yakni hukum perdata barat, hukum Islam dan hukum adat. Para anggota legislative belum mampu menghasilkan satu undang-undang tentang hukum perdata yang berlaku untuk semua warga Negara. Dalam ketuga macam hukum tersebut masing-masing mengenal dan mengatur tentang wasiat dan hibah. Dalam forum ini tentu kita bicara tentang wasiat dan hibah menurut ketentuan hukum Islam.

Dalam penjelasan pasal 49 ayat (c) undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, dirumuskan wasiat adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.

Ayat ( c ) dari pasal tersebut merumuskan tentang hibah sebagai berikut; adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.

B). KEWENANGAN ABSOLUT PENGADILAN AGAMA

Perlu diketahui bahwa dalam pasal 49 ayat ( 1b ) undang-undang no. 7 tahun 1989 menyebutkan bahwa yang menjadi kewenangan pengadialn agama adalah masalah kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Maksud pasal ini adalah untuk mengakomodir bila ada warga Negara muslim yang ingin menyelesaikan masalah kewarisannya dengan menggunakan salah satu dari dua bentuk hukum lainnya, dimana hal itu masih dibolehkan berdasar butir 2 alenia keenam dari penjelasan umum undang-undang no. 7 tahun 1989 (pilihan hukum).

Kendati yang dimaksud adanya pilihan hukum itu hanya untuk hukum waris, namun dalam sengketa wasiat atau hibah masih ada pihak tergugat yang mengajukan eksepsi bahwa wasiat atau hibah yang disengketakan telah dilakukan tidak berdasar hukum Islam.

Apa ciri bahwa perbuatan wasiat atau hibah dilakukan berdasar atau tidak berdasarkan hukum Islam ? Mereka menunjuk pasal 875 KUHPer yang menyebut bahwa surat wasiat atau testament adalah sebuah akta notariel, jadi setiap wasiat yang dibuat tertulis dengan menggunakan akta notaris dianggap sebagai bukan berdasar hukum Islam.

Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 195 ayat ( 1 ) nenyebut bahwa wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua ornagn saksi, atau dihadapan notaries. Dengan demikian hukum Islam juga membenarkan bila dilakukan dengan akta notaries.

Alhamdulillah dengan keluarnya undang-undang no. 3 tahun 2006 semua kendala tersebut telah sirna. Bagi warga Negara yang Islam tidak ada lagi yang namanya pilihan hukum atau opsi dalam bidang yang telah menjadi kompetensi absolute pengadilan agama.

C). KEABSAHAN WASIAT DAN HIBAH

Dalam hukum Islam untuk menentukan kebsahan dari suatu perbuatan hukum adalah tergantung terpenuhinya rukun dan syarat suatu peristiwa hukum itu. Rukun adalah sesuatu yang membentuk hakikat dan ada didalamnya seperti berdiri,ruku’, sujud, lain dengan wudlu yang merupakan syarat salat adalah sesuatu yang berada diluar salat, tetapi mempengaruhi sah dan tidaknya salat ( Prof.Drs.H.A.Djazuli, hal 52 ). Sepertin peristiwa akad nikah yang salah satu rukunnya adanya calon suami, maka tanpa dia mustahil adanya akad nikah. Berbeda dengan syarat usia 19 tahun bagi laki-laki yang ingin menikah. Tidak mungkin akad nikah berlangsung jika sang calon belum berusia 19 tahun, namun bila ada laki-laki yang berusia 19 tahun belum tentu ada akad nikah.

Kompilasi Hukum Islam tidak menyebut secara tegas tentang rukun dan syarat melakukan wasiat dan hibah, namun beberapa hal telah diatur yang akan di uraikan.

D). DASAR HUKUM WASIAT

Dalam hukum Islam, sumber hukuk yang mengatur tentang wasiat yaitu surat 2 albaqarah ayat 180 yang artinya :

Diwajibkan atas kamu, ap[abila seorang diantara kamu kledatangan (tanda-tanda)maut, jioka ia menoinggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan klarib lerabatnya secara ma’ruf(ini adalah) kewajiban atas porang-orang yang bertakwa.

Menurut jumhur fukaha ayat wasiat ini telah dinasakh dengan turunnya ayat \- ayat waris yang terdapat dalam surat annisa’ ayat 7, 11 dan12. Rasulullah saw dalam khutabahnya pada haji wada’ antara lain berkata; sesungguhnya Allah swt telah memberikan kepada masing-masing apa yang menjadi haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris (H.;R.Turmuzi dan Abu Daud).Sejak saat itu hukum wasiat hanya sunnah dan tiidak boleh untuk ahli waris.

Sedangkan menurut pasal 195 ayayt 3 Kompilasi Hukum Islam, wasiat kepada ahli waris masih memungkimkan dengan syarat mendapat persetujuan dari ahli waris.

E). RUKUN DAN SYARAT WASIAT

1. Pewasiat (mushi), harus telah mem,iliki syarat yakni telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, akil, sehat serta tanpa adanya paksaan ( pasal 194 ayat 1 KHI )

2. Penerima wasiat (musha lahu), Kompilasi tidak membuat perincian syarat penerima wasiat, hal ini dapat kita katakana bahwa bagi penerima wasiat tidak ada persyaratan kecuali ia bukan ahli waris dari pewasiat kecuali dengan persetujuan semua ahli waris (pasal 195 ayat 3 ), bukan perawat selama sakit dan bukan pula pembimbing rohani pewasiat selama sakit kecuali disebut dengan jelas sebagai imbalan jasanya.

3. Harta yang diwasiatkan (musha bihi), syarat pokok adalah barang yang diwasiatkan adalah milik sempurna dari pewasiat (pasal 194 ayat 2 KHI), barang tersebut halal untuk dimiliki, dapat diserakan pada saat pewasiat meninggal dunia, bila yang diwasiatkan manfaat dari sesuatu benda maka harus diberikan jangka waktu tertentu (pasal 198 KHI).

Harta yang boleh diwasiatkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan, kecuali semua ahli waris menyetujui. (pasal 195 ayat 2 )

4. Sighat (ucapan),pasal 195 ayat (1) KHI membolehkan wasiat dengan lisan atau tulisan yang masing-masing dihadiri oleh dua saksi atau dapat dilakukan secara notariel.

Kompilasi Hukum Islam membolehkan wasiat tertutup yang maksud adanya wasiat hanhya diketahui oleh orang-orang tertentu saja.Jika wasiat tertutup maka penyimpanannya ditempat notaries yang membuat. Wasiat tertutup, baru dibuka apabila pewasiat meninggal dunia dengan dihadiri oleh semua ahli waris dan dua orang saksi (pasal 204 ayat 1). Bila yang menyimpan bukan notaries,maka ia harus menyerahkannya pada notaries atau Kepala Kanor Urusan Agama setempat selanjutnya untuk dibuka (ayat 2)

F). HIBAH

Masalah hibah atau pemberian secara mutlak ini tidak banyak persoalan yang rumit. Yang perlu diingat antara lain sebagai berikut :

1. Hibah orangtua kepada anak bila dipermasalahkan oleh ahli waris lain dapat diperhitungkan sebagai warisan (pasal 210)

2. Hibah dapat dilakukan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta benda kepada orang lain atau badan hukum.

3. Hibah tidak dapat ditarik kembali kecuali hibah orang tua kepada anaknya.

G). SENGKETA

Manusia untuk dapat melangsungkan hidupnya didunia ini dibekali dengan beberapa perlatan rohani diantaranya akal dan napsu atau keinginan. Selain itu manusia termasuk makhluk sosial artinya ia tidak mampu hidup sendirian tapi bergantung dengan bantuan orang lain.

Adanya napsu atau keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup disamping untuk keperluan tersebut manusia sangat butuh kepada bantuan pihak lainnya, sementara pihak lain tersebut memiliki karakter yang tidak berbeda maka kemungkinan adanya benturan kepentingan pada dua orang itulah yang mengandung potensi sengketa.

A. Mukti Arto dalam bukunya Mencari Keadilan menguraikan sebagai berikut ; jadi suatu sengketa itu muncul karena adanya suatu masalah yang berbenturan dengan orang lain yang disertai rasa emosional. Rasa emosional inilah yang kemudian menimbulkan sikap bersengketa dan mendorong yang bersangkutan untuk ingin menyelesaikan masalahnya.

Apabila masalah/sengketa sosial itu berada dalam ruang lingkup tatanan hukum, maka ia menjadi masalah/sengketa hukum. Kemudian apabila masalah/sengketa itu dibawa kepengadilan untuk diselesaikan secara litigasi, maka ia menjadi perkara di pengadilan.

Selanjutnya pada halaman 37 diuraikan bahwa sengketa itu selalu ada 3 aspek tinjauan yaitu ;

1. Aspek yuridis menyangkut perbedaan antara das sein dan das sollen atau antara kenyataan yang terjadi dengan norma yang seharusnya terjadi.

2. Aspek sosiologis yakni adanya suatu fakta yang membuat suatu pihak merasa dirugikan oleh pihak lawan yang membuat/melakukan/fakta/kejadian itu.

3. Aspek psikologis yakni pada hakikatnya sengketa itu terjadi antara sesama manusia dalam kepasitas apapun. Rasa emosional manusia inilah yang memunculkan adanya sengketa


Daftar Pustaka

Tim Direktorat Pembinaan Badan Peradialan Agama, Analisa Hukum Islam Bidang wasiat, Departemen Agama.

Tim Direktorat Pembinaan Badan Peradialan Agama, Analisa Hukum Islam Bidang Hibah, Departemen Agama.

Prof.Drs.H.A. Djazuli, U s h u l F i q h.

Drs.H.Mukti Arto SH. M.Hum., Mencari Keadilan.